"Penggunaan dana desa ini harus diawasi baik karena demi dan untuk masyarakat di desa sehingga kami meminta Kadis PMD agar melakukan kontrol secara baik dan kontinyu," kata wakil ketua komisi D DPRD Maluku, John Rahantoknam, di Ambon, Selasa (13/11).
Misalnya ada beberapa temuan kasus bahwa Badan Usaha Milik Desa ini tidak berfungsi normal akibat uangnya disetor ke bank dalam waktu yang cukup lama antara dua sampai tiga bulan lalu uangnya tidak dikembalikan ke desa sehingga Bumdesnya tidak jalan.
Tetapi kalau tidak memperhatikan atensi dan memperbaiki kinerja maka mau tidak mau persoalan ini akan lanjutkan ke pihak yang berwajib guna diproses hukum.
Menurut dia, dari 11 kabupaten/kota di Maluku, kebanyakan kepala desanya belum definitif dan di Kabupaten Maluku Tenggara itu hampir 90,5 persen kadesnya masih berstatus penjabat.
Kalau kades tidak definitif itu menjadi soal, makanya harus definitif dan DPRD berharap agar Bupati dan Wagub Malra terpilih yang baru dilantik segera mungkin mendefinitifkan kepala-kepala desa adat atau di Malra disebut 'Ohoi'. Sehingga pengelolaan dana desanya juga bisa dilakukan dengan baik untuk kepentingan masyarakat setempat.
"Makanya seluruh pemerintah kabupaten dan kota harus ada kebijakan sesuai kewenangan mereka memproses pemilihan dan pelantikan raja atau kades," ujarnya.
Dana Desa ini sampai 2017 terendah Rp800 juta lebih untuk desa yang paling kecil dengan jumlah penduduk terbatas, tetapi pada 2018 ada peningkatan lagi.
Yang paling besar di Malra itu Desa Langgur mendapat Rp1 miliar lebih karena jumlah penduduknya juga di atas 1.000 orang, jadi rata-rata desa besar di 11 kabupaten/kota sudah mendapat dana di atas Rp1 miliar. (MP-2)