Sejak 2004, Indonesia telah menjadi net importer minyak. Dengan tingkat konsumsi migas yang sama dengan saat ini, Indonesia juga terancam menjadi net importer gas, bahkan net importer energi.
Proyeksi minyak dan gas bumi Indonesia. (
Tanpa upaya mencari sumber cadangan terbukti baru (eksplorasi) yang bernilai ekonomis, ancaman krisis energi ada di depan mata.
Tantangan tak berhenti di situ. Eksplorasi bukan upaya tanpa risiko. Butuh biaya besar dan teknologi tinggi, apalagi tren potensi cadangan migas Indonesia mengarah ke kawasan timur dan lautan dalam.
Sudah begitu, pencarian tak selalu mendapati hasil sesuai harapan. Sebagai gambaran, merujuk data SKK Migas, pada kurun 2002-2010 ada 100-an perusahaan migas yang harus kehilangan biaya sekitar 3,9 miliar dollar AS—setara sekitar Rp 54 triliun—karena ekplorasi tak berhasil.
Nominal tersebut hampir menyamai total Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah (APBD) DKI Jakarta pada 2016 yang bernilai Rp 62,9 triliun. Angka itu mendekati 7 kali lipat APBD Kota Surabaya, 10 kali APBD Kota Medan, dan lebih dari 12 kali APBD Kota Makassar, untuk tahun anggaran yang sama.
Situasi ini ibarat simalakama. Pasokan tetap harus tersedia, tapi butuh biaya besar untuk mendapatkannya. Mengandalkan anggaran negara—dengan gambaran risiko sedemikian besar—juga bakal jadi persoalan baru di tengah gonjang-ganjing perekonomian global.
Skema Kontrak Bagi Hasil (PSC) untuk investasi di sektor hulu migas Indonesia.(
Di sinilah kehadiran skema cost recovery dalam kontrak kerja sama bagi hasil (production sharing contract atau PSC) menjadi strategis. Ibaratnya, skema ini memindahkan risiko dari negara kepada investor atau perusahaan migas.
Namun, bukan pula berarti kepemilikan lapangan migas beralih ke investor. Sebagaimana ketentuan konstitusi, kekayaan alam Indonesia tetap harus pula dikuasai negara.
Kekayaan Migas di Indonesia: Mitos atau Fakta?
Benarkah Indonesia punya banyak minyak bumi dan gas alam (migas)? Betulkah juga negeri ini berlimpah migas, apalagi Indonesia tercatat menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC)? Atau itu cuma mitos?
“ Indonesia sudah jadi net importer minyak sejak 2004. Dengan kondisi sekarang, Indonesia juga akan menjadi net importer gas pada 2024,” kata Kepala Bagian Program dan Pelaporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Taslim Z Yunus, Sabtu (4/6/2016).
Berbicara dalam sharing session SKK Migas dengan Tenaga Ahli dan Sekretariat Komisi VII DPR, Taslim mengatakan pula, dengan tingkat produksi dan konsumsi saat ini bahkan Indonesia akan menjadi net importer energi pada 2026.
Berdasarkan data SKK Migas, data produksi minyak Indonesia per Mei 2016 adalah 832.000 barrel per hari (BPOD), setara sekitar 1 persen produksi minyak dunia. Adapun produksi harian gas mencapai 8.215 MMSCFD.
“ Sejak 2003, produksi gas lebih besar daripada minyak,” ujar Taslim.
Dulu, cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Per Desember 2015, masih ada cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan minyak dunia.
Sisa yang ada, menurut analisis yang dirujuk SKK Migas hanya akan bertahan hingga 10 tahun ke depan untuk tingkat pemakaian yang tak berubah dari sekarang.
Padahal, konsumsi migas Indonesia rata-rata meningkat sekitar 8 persen per tahun, dengan angka saat ini sekitar 1,6 juta barrel per hari.
Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Merujuk data BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara 1,5 persen cadangan gas dunia.
Tantangan energi Indonesia
Grafik data bersumber dari Wood Mackenzie seperti dirujuk SKK Migas berikut ini menjadi salah satu gambaran tantangan pasokan migas Indonesia.
Tantangan produksi dan konsumsi migas Indonesia. (
Meski demikian, diperkirakan Indonesia memang masih punya cadangan minyak sekitar 43,7 miliar barrel. Tantangannya, lokasi cadangan tersebut kebanyakan berada di kawasan laut dalam.
Sumber dan potensi cadangan minyak dan gas bumi Indonesia. (
Data-data di atas merupakan tantangan bagi Indonesia. Untuk memperpanjang kemampuan pasokan migas dari dalam negeri, eksplorasi sumber-sumber baru migas merupakan keharusan.
Masalahnya, eksplorasi bukan pekerjaan mudah dan murah. Upaya ini butuh teknologi tinggi dan biaya mahal. Kehadiran investor menjadi kebutuhan tak terelakkan dari situasi ini.
"Dana investasi untuk migas sangat sedikit, dan Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan alokasi dana investasi tersebut jika ingin meningkatkan produksi minyak dan gas buminya,” ujar Lead Advisor for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia, Sacha Winzenried, seperti dikutip Kompas.com pada Kamis (26/5/2016).
Survei yang digelar PwC Indonesia terkait industri migas mendapati setidaknya ada lima tantangan terkait investasi ke sektor ini. Pertama, keabsahan kontrak dan kepastian seputar perpanjangan kontrak bagi hasil.
Kedua, kurangnya kebijakan dan visi yang konsisten antar lembaga pemerintah. Ketiga, penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil.
Keempat, ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah. Terakhir, ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga.
Menurut Winzenried, para responden survei meyakini bahwa fokus pada aspek-aspek ini akan meningkatkan daya tarik iklim investasi Indonesia untuk migas secara signifikan, konsisten dengan peluang geologis Indonesia yang kuat.
Peserta survei, lanjut Winzenried, juga optimistis terhadap potensi peningkatan daya saing Indonesia, sejalan dengan investasi besar di sektor infrastruktur yang dipicu oleh kebijakan pemerintah saat ini.
Di luar hasil survei tersebut, SKK Migas melihat pula perlunya peran aktif masyarakat untuk turut menciptakan iklim yang ramah investasi.
Skema Kontrak Bagi Hasil (PSC) untuk investasi di sektor hulu migas Indonesia. (
Jangan sampai pula investor sudah datang tetapi masih terkendala problem sosial di lapangan untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas.
Tantangan sektor migas tak hanya berupa angka produksi dan cadangan yang menipis, tetapi juga dari harga migas dunia dan fluktuasi nilai tukar mata uang (kurs).
Sekalipun harga migas dunia sedang dalam tren turun, kurs rupiah yang belum cukup kuat dibandingkan mata uang asing menjadikan impor bukan solusi bagi kebutuhan energi di dalam negeri.
Meski demikian, kata Winzenried, kondisi tersebut juga dapat menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan investasi migas. Ujungnya, menarik alokasi dana investasi untuk eksplorasi dan pengembangan di Indonesia.
Kabar baiknya, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Rabu (17/8/2016), menyebutkan angka produksi minyak Indonesia menunjukkan kenaikan.
“ Untuk pertama kali sejak 2008, produksi minyak rata-rata harian naik dari 786.000 BPOD pada 2015 menjadi 834.000 BOPD per Juli 2016. Naik 6,2 persen,” sebut Amien.
Menurut Amien, minat investasi juga masih mengalir ke sektor migas. Antara lain, sebut dia, terlihat dari komitmen investasi untuk pengembangan Train 3 di Kilang LNG Tangguh, Papua Barat.
“Nilai investasinya mencapai 8 miliar dollar AS,” sebut Amien.
Dari awal tahun sampai Juli 2016, lanjut Amien, juga terdapat 21 Plan of Development (POD) dan Plan of Further Development (PoFD) yang telah disetujui.
Apabila seluruh POD/POFD dapat direalisasikan sesuai rencana, cadangan migas Indonesia diharapkan bertambah 171 juta barrel oil equivalent (BOE). (bin/kmps)