"Tanah seluas 11 Hektar milik Johanis Hehamony sebagai warisan dari almarhum Dominggus Hitijahubessy sesuai kata notaris no 79 tanggal 29 November 1991 ini kemudian ditempati kurang lebih 589 warga jemaat Bethabara," ujar Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Ambon, Rofik Afifuddin usai menggelar rapat dengar pendapat bersama warga eks pengungsi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon di ruang sidang utama, Kamis (13/9).
Afifuddin katakan, penempatan ratusan warga tersebut merupakan kompensasi pemerintah bagi masyarakat Kota Ambon pasca konflik sosial 1999 lalu. Bahkan penempatan warga di lokasi tersebut tidaklah gratis, oleh karena warga Jemaat GPM Betabara harus membayar ganti rugi sebesar Rp6 juta per kepala keluarga (KK).
Rofik Afifuddin |
Menurut Afifuddin, Naasnya surat pelepasan hak atas tanah tersebut tidak diperuntukan bagi 11 Hektar tanah yang dimiliki. melainkan hanya pada tanah seluas 40.000 Meter Persegi yang ditempati 179 KK. Sementara, pemungutan biaya Rp3 juta yang menjadi tanggung jawab masyarakat dilakukan secara keseluruhan.
"Jadi setelah dilakukan pelepasan hak atas tanah, maka pihak kedua kemudian mengajukan proses permohonan hak untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah kepada kepala kantor Pertanahan Kota Ambon. dan berdasarkan prosedur serta perundang-undangan maka yang berhak menerima sertifikat hanyalah 179 KK, sementara untuk ratusan kepala keluarga lainnya belum berhak mendapatkan sertifikat dikarenakan status tanah tersebut masih dimiliki oleh Johanis Hehamony," ungkapnya.
Afifuddin tegaskan, persoalan sertifikat hak atas tanah warga Jemaat Betabara di dusun Kayu Tiga perlu diusut lebih jauh, selain proses pelepasan hak atas tanah sudah terjadi sejak tahun 2005. Namun hal ini merupakan program Pemerintah Provinsi, sehingga apa yang disampaikan masyarakat saat ini akan ditampung dan ditindaklanjuti pada rapat berikutnya.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Ambon, Juliana Patipeilohy mengatakan untuk rapat dengar pendapat selanjutnya, DPRD akan meminta kesedian pdt. D Mustamu sebagai penanggung jawab dan beberapa pihak lainnya seeperti RT dan RW yang turut menandatangi surat pelepasan Hak atas tanah tersebut serta Dinas sosial Provinsi Maluku.
Patipeilohy menandaskan, sekalipun hal itu menjadi program Pemerintah Provinsi namun menyentuh secara langsung masyarakat Kota Ambon. Dan imbas dari ketidakpastian status tanah saat ini dialami oleh masyarakat, padahal masyarakat telah melakukan tanggung jawab mereka dengan melakukan pembayaran ganti rugi lahan di BPDM.
"Bahkan dari informasi yang kami dapati, pada relokasi hingga pelepasan hak atas tanah juga melibatkan Anggota DPRD Provinsi Maluku, Evert kermite. sehingga kita juga akan meminta kesediaan beliau untuk bersama-sama menjelaskan kepada kami dan masayrakat seluruh proses relokasi eks pengungsi Batu Merah, sehingga kita dapat mengetahui kepasian perjanjian antara penanggung jawab dan pemilik lahan untuk mencari solusi yang terbaik bagi masayarakat,” tegasnya.
Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kota Ambon, Fin Parera, menyatakan berdasarkan perundang-undangan dan surat pelepasan hak atas tanah, saat ini BPN Kota ambon telah melakukan pencetakan sertifikat hak atas tanah kepada 152 KK di pada sebidang tanah yang bernomorkan 789 atas nama Pemerintah Provinsi Maluku dan akan segera diterbitkan.
“BPN Kota Ambon hanya akan menerbitkan 152 sertifikat tanah dari 172 KK, hal itu karena terjadi kesalahan administrasi sehingga perlu dilakukan perbaikan kemudian akan diproses kembali oleh BPN Kota Ambon. Sementara untuk lahan bernomor 689 yang ditempati 410 KK, kepemilikan sertifikat hak atas tanahnya masih bernamakan Johanis Hehamony sehingga BPN tidak dapat memproses penerbitan sertifikat hak atas tanah seperti yang diharapkan masyarakat,” pungkasnya. (MP-8)