"Kami sesuai laporan yang diterima di Bula, ibu kota kabupaten SBT ternyata PT. Olop mengekspor 11 ton biji pala setiap bula ke Eropa,"katanya, di Ambon, Rabu (23/11).
Hanya saja, ekspornya melalui pelabuhan Surabaya karena di Maluku belum ada pelabuhan berstatus tersebut.
Pelabuhan Yos Sudarso Ambon pun belum bisa melakukan kegiatan ekspor.
"Kami (Maluku), terutama kota Ambon tidak beroperasi lagi PT.Sucofindo sehingga produksi perkebunan daerah ini belum bisa diekspor dari sini," ujar Diana.
Karena itu, PT. Olop menjualnya ke Surabaya melalui perdagangan antarpulau, selanjutnya baru diekspor sehingga Maluku kehilangan nama produksi hasil perkebunan tersebut.
"Sistem perdagangan antarpulau memang merugikan nama Maluku yang produksi pala menjadi incaran bangsa asing sehingga terjadi penjajahan di Indonesia," kata Diana.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku tidak ada kegiatan ekspor hasil perkebunan Maluku setiap bulan dari pelabuhan Yos Sudarso Ambon.
Karena itu Pemerintah Provinsi Maluku berusaha agar PT. Sucofindo kembali beroperasi di Ambon karena hengkang akibat tragedi kemanusiaan pada 1999.
Dia mengakui, PT. Sucofindo diminta beroperasi kembali di Ambon telah dibicarakan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Maluku guna mendukung kelancaran ekspor.
"Pastinya kualitas ekspor produksi hasil perkebunan Maluku lebih terjamin karena tidak lagi melalui pelabuhan Surabaya dan lebih ekonomis karena hanya melalui satu pintu keluar," tandas Diana. (MP-5)