Ketua Bawaslu Malra, Maksimus Lefteuw mengatakan, proses sidang ajudikasi tersebut adalah sebuah proses yang diamanatkan dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 18 Tahun 2017 yang telah diubah dengan Perbawaslu Nomor 18 Tahun 2018 dan terakhir dengan Perbawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
“Proses penyelesaian sengketa itu sendiri memiliki makna bahwa adanya sengketa antara peserta pemilu dengan peserta pemilu lainnya, maupun peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU Malra. Artinya, apabila terdapat perbedaan tafsir yang merugikan diantara peserta pemilu, dan juga perbedaan tafsir diantara peserta dengan penyelenggara pemilu itu sendiri,” ungkapnya di Tual, Minggu (7/10).
Menurut Lefteuw, objek yang disengketakan dalam proses sidang ajudikasi atau sengketa itu terdiri dari 2 objek, yakni objek yang terkait dengan keputusan KPU Malra, dan objek yang terkait dengan berita acara yang dikeluarkan oleh KPU Malra.
“Dalam proses ajudikasi, Bawaslu Malra menerima permohonan sengketa, sehingga sesuai mekanisme juga telah mengundang pihak-pihak yang bersengketa untuk proses mediasi. Namun di dalam proses mediasi tersebut tidak ada kesepakatan, sehingga sesuai dengan amanat Perbawaslu bahwa apabila tidak ada kata sepakat para pihak maka dapat dilanjutkan ke sidang ajudikasi,” katanya.
“Proses sidang ajudikasi sudah mulai berjalan, dan permohonan yang diterima oleh Bawaslu Malra itu terdiri dari dua permohonan, yakni dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN),” katanya lagi.
Dijelaskan Lefteuw, yang disengketakan dalam proses ajudikasi ini adalah adalah terkait dengan keputusan KPU Malra dalam penetapan daftar Calon Tetap (DCT) pada tanggal 20 September 2018, dimana di dalam DCT tersebut terdapat dua calon legislatif (caleg) yakni saudara Husein Letsoin (dari PKS) dan saudara Ferdinand Labetubun (dari PAN) digugurkan atau tidak ditetapkan dalam DCT oleh KPU Malra.
“Karena mereka berdua tidak ditetapkan dalam DCT, maka sesuai dengan Perbawaslu, partai politik yang merupakan principal (mewakili calon), dapat mengajukan sengketa ke Bawaslu kabupaten/kota,” ujarnya.
Diungkapkan Lefteuw, proses ajudikasi ini dimulai dari pembacaan permohonan, kemudian jawaban termohon, dan hingga pada hari ini telah memasuki tahapan (agenda) kesimpulan. Selain itu, ada agenda lain yakni pemeriksaan terhadap saksi-saksi.
“Sekarang kita tersisa satu agenda terakhir yakni agenda putusan. Kami akan melakukan musyawarah dan akan menilai terhadap fakta-fakta persidangan selama proses ajudikasi ini berlangsung, karena keputusan ini akan mengacu pada fakta proses ajudikasi itu sendiri,” tandasnya.
Lefteuw menambahkan, jika dalam fakta persidangan terbukti bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak termohon maka Bawaslu tentu mengambil putusan untuk dapat membatalkan putusan pihak termohon. Namun apabila di dalam fakta persidangan ditemukan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh pihak termohon adalah benar maka keputusan pihak termohon akan dikuatkan dengan putusan Bawaslu Malra.
“Waktu untuk kita dalam penanganan proses ini adalah selama 12 hari kerja, sehingga seluruh proses sidang ajudikasi ini akan berakhir pada tanggal 11 Oktober 2018. Kami akan berusaha agar sebelum tanggal 11 Oktober itu putusan sudah kami bacakan, dan akan disampaikan secara resmi kepada pihak pemohon dan termohon,” pungkasnya.
Untuk diketahui, sidang ajudikasi tersebut dipimpin langsung oleh Maksimus Lefteuw sebagai Ketua Majelis, dan didampingi Assyujudiah Arief Hanubun dan Essau Frets Mouw masing-masing sebagai Anggota Majelis. (MP-15)