"Kalau negara memberikan ruang untuk keberadaan masyarakat hukum adat dan itu berarti negara mengakui, hanya saja bagaimana masyarakat mengakses hak-hak adat mereka harus ada legalitas," kata Kadis Kehutanan Maluku, Sadli Lie di Ambon, Kamis (13/9).
Yang dimaksud legalitas di sini kata Sadli, adalah berupa peraturan daerah sebagai sebuah payung hukum dan untuk Maluku belum ada.
Menurut dia, hutan adat adalah hutan yang berada dalam penguasaan hukum adat yang penjabarannya harus diakui dengan sebuah regulasi dalam bentuk perda.
"Saya tidak ingat persis luasannya, namun untuk Provinsi Maluku memang ada hutan yang statusnya merupakan sebuah hutan adat yang dimiliki masyarakat adat," ujarnya.
Berbeda dengan hutan negara yang berarti hutan yang tumbuh di atas tanah tanpa dibebani hak apa pun.
"Pengawasan kami terhadap seluruh areal hutan yang mencapai 3,9 juta hektare di sembilan kabupaten dan dua kota masih sangat minim akibat terkendala terbatasnya aparat pengawasan hutan untuk menjaga penebangan liar sehingga Dishut selalu berkoordinasi dengan instansi terkait," kata Sadli.
Sedangkan untuk perusahaan pemegang izin HPH yang beroperasi di Maluku saat ini ada 13 HPH yang tersebar di Kabupaten Buru, Kabupaten Buru Selatan, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah, serta Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
"Total luas arealnya tidak ingat, tetapi ini perusahaan resmi yang sedang beroperasi di Maluku saat ini," jelas Sadli.
Ketua komisi B DPRD Maluku, Ever Kermite mengatakan akan secepatnya memperjuangkan penyusunan rancangan peraturan daerah yang secara khusus mengatur masalah hutan adat.
"Perda ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang harus disikapi komisi untuk segera berinisiasi merancangnya," jelas Ever Kermite. (MP-4)