"Prinsipnya kita juga setuju mantan koruptor sebaiknya jangan jadi calon anggota legislatif karena di situ sebenarnya ada pertanggungjawaban moral," kata anggota Komisi A DPRD Maluku, Herman Hattu di Ambon, Senin (3/9).
Tetapi dari aspek kelemahannya terdapat pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang tidak secara tegas melarang baik koruptor maupun mantan napi koruptor menjadi caleg atau tidak.
Akibat UU pemilu tidak menyebutkan lalu KPU menerbitkan peraturannya nomor 20 tahun 2018 yang salah satunya adalah melarang mantan koruptor untuk mangajukan diri sebagai calon anggota legislatif, tetapi oleh Bawaslu justeru mengizinkan.
"Bawaslu mengizinkan mantan koruptor menjadi caleg sebagai akibat dari adanya pengaduan para bacaleg tertentu yang oleh keputusan Bawaslu diizinkan," tandas Herman.
Dari sisi eksistensi hukum, keputusan Bawaslu patut dilaksanakan oleh KPU karena institusi ini adalah pihak yang melaksanakan pengawasan terhadap proses pemilu oleh KPU, padahal UU pemilu tidak menegaskan hal seperti itu.
Karena itu sebetulnya harus ditempatkan terlebih dahulu dalam UU pemilu sehingga antara KPU dan Bawaslu taat aturannya, sehingga masalah regulasi tidak lagi menjadi kelemahannya supaya tidak menimbulkan konflik kepentingan.
"Kalau menurut saya mestinya ada Perppu yang sejajar dengan UU sehingga di dalamnya mencakup dapat atau tidaknya mantan koruptor jadi calon anggota legislatif," jelas Herman.
Tetapi sepanjang regulasi seperti itu belum ada maka apa yang dilakukan Bawaslu yang bertentangan dengan PKPU merupakan suatu peristiwa kecolongan konstitusional.
"Sekarang bermasalah dimana KPU ketat dengan peraturannya, namun keputusan Bawaslu wajib dilaksanakan oleh mereka sehingga ada konflik kepentingan sebagai akibat dari kelemahan UU pemilu," katanya. (MP-4)