"Sampai sekarang mereka masih berproses dan secara resmi belum mendapatkan izin, sehingga perusahaan belum melaksanakan kegiatan pemanfaatan hasil hutan," kata Kadishut Maluku, Sadli Le di Ambon, Selasa (28/8).
Penjelasan Sadli disampaikan dalam rapat dengar pendapat Komisi B DPRD Maluku dengan Dishut dan pihak PT. TWS dipimpin ketua komisi, Ever Kermite.
Rapat kerja komisi dilakukan berkaitan dengan adanya aksi penolakan warga Seram Bagian Barat yang menyatakan menolak kehadiran HPH untuk beroperasi di atas lahan mereka karena khawatir dengan ancama kerusakan lingkungan.
Menurut dia, berdasarkan keputusan Menteri LH dan Kehutanan nomor 854 tahun 2014 tentang kawasan hutan dan konservasi Maluku maka luas kawasan hutan produksi mencapai 3,9 juta hektare dan terbagi atas hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, serta hutan produksi yang dapat dikonversi.
Hutan produksi itu seluas 643.698 Ha dan hutan produksi terbatas seluas 894.258 Ha.
Berdasarkan keputusan menteri LH nomor 9/Menhut tahun 2015, areal yang dimohonkan adalah kawasan hutan produksi tidak dibebani izin atau hak dan telah ditetapkan oleh menteri berupa peta indikatif areal pemanfaatan kawasan hutan pada hutan produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.
Keputusan menteri ini tentang tata cara pemberian perluasan areal kerja dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi posisi atau izin usaha pemanfaatan kayu hutan tanaman industri pada hutan alam pada pasal dua dijelaskan.
Dalam peraturan ini ada persyaratan pemohon yang harus terpenuhi sesuai diatur dalam pasal lima.
Pasal tersebut menyebutkan permohonan diajukan kepada menteri UP Kepala BKPM Pusat dilengkapi surat izin usaha berupa SIUP, nomor pokok wajib pajak, pernyataan yang dibuat dihadapan notaris dan rekomendasi dari gubernur kepada menteri yang berisikan informasi tentang tata ruang wilayah provinsi atas areal yang dimohonkan.
Jadi provinsi hanya memberikan rekomendasi gubernur yang menerangkan bahwa areal itu berada pada peta indikatif yang tidak dibebani berdasarkan tata ruang wilayah.
"Dari situ gubernur memberikan rekomendasi kepada PT. TWS lalu mengajukan proses kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui BKPM untuk melakukan pemeriksaan secara administrasi," jelas Sadli.
Berkas yang tidak lengkap dikembalikan, dan yang lengkap dilanjutkan ke Sekjen untuk verifikasi secara tekhnis.
Jika lolos verifikasi baru BKPM menerbitkan surat persetujuan prinsip yang berisi perintah pelaksanaan penyusunan serta penyelesaian dokumen Amdal dan izin lingkungan dan membuat koordinat geografis terkait dengan tata batas area.
"Jadi PT. TWS sekarang memasuki proses ini sesuai aturan pasal delapan peraturan menteri untuk selanjutnya mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu," tandasnya.
Direktur Utama PT. TWS, Ridwan Zaitun mengatakan, telah melakukan proses perizinan sesuai ketentuan Menteri LH dan dan Kehutanan dimana berbagai syarat telah dipenuhi sehingga prosesnya berjalan dan keluarlah SP1 atau disebut persetujuan prinsip.
Dalam surat ini berisikan perintah untuk melakukan analisa dampak lingkungan, koordinat geografis yang menunjukkan luasan areal, dan proses itu masih berlanjut.
"Informasi kalau kita sudah melakukan kegiatan tidak benar dan kita belum melakukan apa-apa, apalagi melakukan penebangan karena arealnya belum ditentukan dan itu melanggar undang-undang," katanya.
Anggota komisi B DPRD Maluku, Soraya mengatakan tidak mungking ada asap tanpa ada api, artinya warga SBB tiba-tiba melakukan aksi penolakan HPH kalau tidak ada alasan yang menjadi dasar.
"Saya minta jangan ada dusta di antara kita," tegasnya.
Wakil ketua komisi, Wellem Wattimena mengusulkan perlunya dilakukan on the spot ke lapangan dan menemui masyarakat setempat yang melakukan penolakan kehadiran HPH," ujar Wellem.
Anggota komisi lainnya Lutfi Sanaky menyarankan perlunya diagendakan pertemuan lanjutan dengan menghadirkan berbagai pihak terkait, baik Dishut Maluku dan pihak perusahaan, juga Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Biro Lingkungan Hidup agar persoalannya bisa dibahas secara komprehensip.
"Lewat rapat koordinasi secara lintas sektoral seperti ini tentunya akan dicari akar permasalahannya sekaligus mendapatkan solusi yang tepat," katanya.
Sedangkan Agnes Renyut yang juga anggota komisi B mengatakan bisa saja ada pihak lain yang beroperasi melakukan penebangan hutan membawa nama perusahaan, padahal faktanya PT. TWS belum mengantongi izin resmi dan melakukan aksi di lapangan.
Sementara ketua komisi, Ever Kermite menyatakan prinsipnya DPRD sangat mendukung rencana HPH beroperasi karena bisa menambah pendapatan asli daerah.
"Yang terpenting adalah income bagi kas daerah asalkan tidak mengabaikan prinsip pelestarian hutan, dan masukan dari DPRD juga biasanya menjadi pertimbangan bagi kementerian untuk menyatakan menolak atau mengizinkan sebuah perusahaan HPH beroperasi," jeas Ever. (MP-3)