"Guru yang statusnya non ASN sekitar 2.847 orang di seluruh Maluku, dan khusus untuk guru produktif SMK secara total di daerah ini 137 orang yang merupakan profil kita," kata Saleh di Ambon, Senin (30/7).
Untuk tingkat SD/SLTP sederajat merupakan tanggungjawab pemerintah kabupten dan kota, sedngkan SMA/SMK sederajat merupakan tanggungjawab pemerintah provinsi.
Menurut dia, dari aspek pengembangan mutu pendidikan maka para guru honor ini memiliki peran penting tetapi suasana dan kondisi yang dialami para guru kontrak ini sangat memprihatinkan.
Dinas dengan DPRD provinsi telah menangani guru kontrak sebanyak 1.530 orang mencakup guru PAUD hingga SMA/SMK sederajat.
"Coba dilakukan validasi sesuai kewenangan dan saya minta seluruh kadis kabupaten/kota tegakkan aturan sesuai UU nomor 23, tetapi di tingkat kabupaten dan kota justeru ada yang tidak saja menangani guru-guru honorer dengan baik dari PAUD dan SD/SMP tetapi juga ada SMA/SMK," ujarnya.
Seperti di Kota Tual, hari ini sesuai guru kontrak yang diangkat dengan SK dinas provinsi 72 orang tetapi mereka menangani guru SMA/SMK di Kota Tuaal sebanyak 92 orang.
"Artinya kalau saya mau tegakan aturan kewenangan ini, maka provinsi harus menambah 20 orng dalam tenaga kontrak ini," ujarnya.
Besaran honorer berbeda-beda seperti Kota Tual, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Buru Selatan rata-rata Rp1,5 juta, sedangkan di provinsi Rp1,015 juta.
Suasana pembayaran tenaga honorer guru ini dengan berbagai sumber anggaran seperti APBD, Yayasan, komite, bahkan dari sekolah melalui Dana BOS.
Ada beberapa temuan lapangan tahun 2017 awal saat dilakukan kunjungan kerja di Pulau Manipa, ada satu sekolah di SMA kepsek yang ASN dan semua gurunya honorer lalu hanya digaji Rp100 ribu per bulan.
Mereka mengaku masih bisa menjalankan tugas mencerdaskan bangsa dengan gaji honor segitu dan situsi ini menggambarkan ketika ingin memajukan persoalan pendidikan selalu dihadapkan dengan masalah kemanusiaan seperti ini.
"Sehingga sampai hari ini kami belum bisa melakukan secara seragam menghargai jasa para guru dalam mengajar para peserta didik," akui Saleh.
Tahun 2015 ada kebijakan gubernur terkait program guru garis depan yang didatangkan dari luar Maluku tetapi ditolak melalui Unpatti karena alumni Fakultas Keguruan Unpatti dan universitas lain yang ada d Maluku cukup banyak.
Yang sudah bekerja sampai di daerah 3T cukup banyak dan bertahun-tahun menjadi tenaga honorer, sehingga gubernur menyurati Kementerian minta solusi agar Guru Garis Depan (GGD) tidak perlu didatangkan dari luar daerah tetapi mempersiapkan tenaga honor yang sudah lama mengabdi diangkat dan dilatih untuk meningkatkan mutu pendidikan.
"Namun sampai saat ini surat gubernur tersebut tidak pernah dijawab oleh kementerian," katanya. (MP-3)