Hal itu disampaikan Jenderal Tito Karnavian saat menanggapi pertanyaan peserta Kongres XVII Muslimat Nahdlatul Ulama di Asrama Pondok Gede, Asrama Haji, Jakarta Timur, Jumat, 25 November 2016.
"Pembubaran bisa saja dilakukan jika bertentangan dengan Pancasila, kemudian aktif melakukan pelanggaran hukum," kata Tito Karnavian.
Tito menjelaskan, dalam memberlakukan suatu aturan biasanya juga dilihat dua aspek legitimasi yaitu legitimasi publik dan legitimasi hukum.
"Legitimasi hukum ini artinya kita memperkuat fakta-fakta, bukti-bukti bahwa secara sistematis organisasi ini melakukan pelanggaran sehingga layak dibubarkan. Perlu adanya legitimasi publik kadang sudah jelas ada pelanggaran hukum, tapi publik tidak menghendaki," tuturnya.
Kendati demikian, banyak masyarakat yang menginginkan agar organisasi FPI dibubarkan. "Sebetulnya, memang sudah banyak sekali tuntutan pembubaran ormas ini," kata Tito.
Hal yang tidak jauh berbeda dengan FPI yaitu organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut Tito Karnavian, persoalan HTI di Indonesia sangat dilematis. Sebab di iklim demokrasi seperti sekarang ini, masyarakat juga diberikan kebebasan dalam berekspresi dan berserikat untuk berkumpul.
"Persoalannya sampai hari ini belum ada kerusuhan karena HTI, dia melihat undang-undang itu. Maka dia tidak akan membuat kerusuhan. Caranya dengan soft, berusaha menarik hati masyarakat. Akibatnya, ideologi ini menjadi makin lebar-makin melebar," katanya.
Namun, di satu sisi organisasi HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila karena dia menginginkan khilafah Islamiyah di Indonesia dan tidak berideologi Pancasila.
Hal itu tercacat dalam Pasal 107 b Undang-undang nomor 27 tahun 1999 tentang perubahan undang-undang hukum pidana berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
"Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun. Menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian harta benda, dipidana dengan penjara paling lama 20 tahun."
Karena itu, dalam menghadapi dua persoalan organisasi ini perlu adanya urun rembuk dari lembaga pemerintah, apakah ormas ini berhak untuk dibubarkan atau tidak.
"Yang membubarkan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan informasi-informasi dari Polri, TNI, Intelijen dan BIN yang harus dilakukan," ujar Tito. (bin/vivanews)