Namun, rakyat Amerika telah memilihnya sebagai pemimpin baru yang akan memerintah AS empat tahun ke depan. Ia mengalahkan Hillary Clinton, yang karakternya, sebenarnya lebih disukai rakyat Amerika.
Lalu mengapa Trump bisa merebut kursi presiden negeri paling adidaya di muka bumi itu? Faktornya lebih ke ekonomi. Ya, masyarakat AS merasa peluang terjadinya perubahan ekonomi lebih besar dengan memilih Trump ketimbang Hillary.
Kalau demikian, apakah kebijakan ekonomi Trump bisa dikatakan lebih baik daripada Hillary? Tidak juga.
Banyak ekonom justru melihat sejumlah kebijakan ekonomi Trump akan kontraproduktif bagi perekonomian AS sendiri dan juga ekonomi global.
Dalam kampanyenya, Trump akan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain, ia juga ingin memangkas pajak korporasi dari 35 persen menjadi 15 persen.
Pemotongan pajak korporasi dalam jangka pendek tentu akan menurunkan penerimaan negara. Di sisi lain, peningkatan anggaran infrastruktur akan menaikkan anggaran belanja.
Dampaknya, defisit anggaran AS akan membengkak sehingga harus berutang lebih banyak.
Pemangkasan pun akan dilakukan terhadap pajak penghasilan orang-orang kaya. Ini tentu bisa meningkatkan ketimpangan pada masyarakat AS karena membuat orang kaya bertambah kaya.
Trump, dengan tegas juga akan menarik diri dari pakta-pakta kerja sama perdagangan bebas seperti Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA) dan Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (Trans Pacific Partnership Agreemen/TPPA).
Seiring itu, ia juga berencana menaikkan tarif impor produk asal Tiongkok sebesar 40 persen, dan produk asal Meksiko sebesar 30 persen.
Kebijakan Trump yang cenderung anti globalisasi dan anti liberalisasi perdagangan itu dikhawatirkan akan menyulut perang dagang antarnegara yang ujungnya bakal menimbulkan ketidakstabilan ekonomi global.
Namun, persoalannya, banyak pula ekonom yang setuju dengan kebijakan ekonomi Trump. Dengan kebijakan yang inward looking tanpa terlalu memedulikan kepentingan ekonomi global, kebijakan Trump justru dinilai bisa membangkitkan kembali perekonomian AS.
Nah, karena tak bisa dipastikan kebijakan siapa yang lebih baik, sebagian besar rakyat AS akhirnya melihat ke belakang, bagaimana perekonomian AS dalam beberapa waktu terakhir.
Hingga triwulan III 2016, ekonomi AS hanya tumbuh sekitar 1,5 persen secara tahunan. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 2,4 persen dan tahun 2014 yang juga sebesar 2,4 persen. Sepanjang 2016, investasi merosot, bahkan banyak pabrik yang tutup.
Pertumbuhan ekonomi AS dalam setahun terakhir lebih rendah dibandingkan negara-negara maju yang menjadi peer-nya.
Jerman misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi sekitar 1,9 persen hingga triwulan III 2016. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 1,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi Inggris juga tumbuh dari 2,2 persen pada tahun 2015 menjadi sekitar 3 persen per triwulan III 2016.
Jepang, meskipun pertumbuhan lebih rendah, namun menunjukkan tren percepatan, dari 0,5 persen pada 2015 menjadi 0,8 persen pada triwulan III 2016.
Ekspor AS juga tumbuh negatif sehingga transaksi berjalannya defisit sebesar 252 miliar Pertumbuhan ekonomi ASdollar AS pada semester I 2016.
Dengan kondisi ekonomi demikian, tak heran banyak warga AS yang tak puas dengan pemerintahan Barrack Obama yang berasal dari Partai Demokrat.
Dengan garis besar kebijakan ekonomi yang hampir serupa dengan Obama karena sama-sama bernaung di Partai Demokrat, Hillary pun diragukan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Di titik inilah, warga AS akhirnya menaruh harapan pada Trump. Dengan kebijakan ekonomi yang berseberangan dengan Hillary, Trump dinilai akan bisa melakukan perubahan, yang tentunya ke arah yang lebih baik.
Trump memang tak berpengalaman sebagai birokrat ataupun politisi, namun seluruh rakyat AS tahu selama puluhan tahun Trump sukses menjalankan gurita bisnisnya hingga akhirnya menjadi miliarder.
Meskipun kemenangan Trump disayangkan pelaku pasar keuangan di berbagai penjuru dunia, investor dan pialang AS justru mendukung kebijakan AS.
Buktinya, sehari setelah Trump memenangi pilpres AS, investor dan pialang AS langsung menarik dananya di berbagai belahan dunia untuk dialihkan ke pasar keuangan dan pasar modal AS.
Bursa Wall Street pun melejit. Indeks Dow Jones naik 1,4 persen pada perdagangan Rabu (9/11/2016). Kondisi serupa juga terjadi pada indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq.
Sebaliknya, bursa saham di berbagai negara rontok akibat ditinggalkan investor AS terutama negara-negara Asia dan emerging market. Indeks Nikkei Jepang tersungkur 5,4 persen pada perdagangan Rabu. Pada hari yang sama Indeks Hang Seng Hongkong jatuh 2,15 persen.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga tak luput, tergelincir 1 persen pada perdagangan Rabu. Bahkan kejatuhan IHSG terus berlanjut hingga Jumat (11/11/2016), saat indeks ditutup di level 5.289, anjlok 161 poin dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.
Seiring mengalirnya modal ke pasar AS, permintaan terhadap dollar AS pun meningkat sehingga mata uang Paman Sam itu menguat terhadap mata uang lainnya.
kurs rupiah pada perdagangan di pasar spot antarbank Jakarta (Jisdor) Kamis (10/11/2016), ditutup melemah menjadi Rp 13.118 per dollar AS. Pelemahan terus berlanjut pada penutupan perdagangan Jumat saat kurs rupiah berada di level Rp 13.350 per dollar AS.
Di tengah perdagangan Jumat, rupiah bahkan sempat menyentuh Rp 13.800 per dollar AS sebelum akhirnya Bank Indonesia melakukan intervensi ke pasar.
Tekanan terhadap rupiah bakal lebih besar jika Bank Sentral AS, Federal Reserve, jadi menaikkan suku bunga acuannya menjelang akhir tahun ini.
Dampak Terhadap Indonesia
“Trump effect” terhadap ekonomi Indonesia tentu saja tidak hanya pada pasar keuangan dan pasar modal. Kinerja ekspor dan investasi langsung Indonesia juga berpotensi terganggu.
Kebijakan Trump yang cenderung anti globalisasi dan perdagangan bebas berpotensi memperlemah ekspor Indonesia ke AS baik secara langsung maupun tidak langsung.
Padahal, sepanjang 2016, ekspor Indonesia ke AS merupakan yang terbesar dibandingkan ke negara-negara lainnya.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia ke AS selama periode Januari – September 2016 mencapai 11,59 miliar dollar AS atau 11,5 persen terhadap total ekspor Indonesia.
Ekspor Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia ke Jepang, Tiongkok, India, dan Singapura yang merupakan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Kebijakan Trump yang akan memangkas pajak korporasi tentu akan menarik perusahaan-perusahaan AS untuk lebih banyak berinvestasi di negerinya sendiri.
Dampaknya, alokasi investasi korporasi-korporasi AS di negara-negara lain termasuk Indonesia bisa jadi akan berkurang.
Padahal selama ini, penanaman modal asing (PMA) dari AS cukup signifikan. Berdasarkan data BKPM, selama periode Januari – september 2016, realisasi investasi langsung AS di Indonesia mencapai 430,4 juta dollar AS atau setara Rp 5,7 triliun.
AS merupakan negara dengan investasi terbesar kesepuluh di Indonesia.
PMA 10 negara periode Januari - September 2016.
Untuk meminimalisir dampak negatif dari kebijakan pemerintahan Trump ke depan, yang paling mendasar tentu bangsa Indonesia harus memperkuat pondasi perekonomian domestiknya.
Seperti halnya AS yang inward looking, Indonesia juga harus fokus membenahi industri nasional sehingga ketergantungan pada asing semakin berkurang.
Sejauh ini, langkah pemerintah sudah berada dalam jalur yang benar dalam memperkuat pondasi perekonomian.
Salah satu rangkaian kebijakan besar yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi adalah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi hingga 14 jilid.
Paket-paket kebijakan tersebut intinya bertujuan untuk memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri, mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam berusaha.
Pemerintahan Jokowi juga gencar membangun infrastruktur. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.
Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.
Pada triwulan IV 2016, sebagian besar dana repatriasi program tax amnesty yang totalnya mencapai Rp 142,63 triliun juga diperkirakan akan terealisasi. Ini sedikit banyak bisa mengimbangi modal asing yang keluar dari Indonesia.
Jadi, kita tak perlu terlalu khawatir dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang akan dilakukan pemerintahan Trump.
Bila fundamental perekonomian Indonesia kuat, kita bisa menentukan nasib kita sendiri.
(M. Fajar Marta / kmpscom)