Terdakwa Bantah BAP Kasus Kematian Perwira Polda

Ambon, Malukupost.com - Febry Suitela, salah satu terdakwa kasus pengeroyokan yang mengakibatkan kematian AKBP Johanis Mairuhu, perwira menengah Polda Maluku pada 3 Januari 2016, membantah Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. "Yang benar adalah, awalnya saya dipukuli oleh seseorang dengan sebuah kayu lalu saya membalas memukul orang tersebut dengan menggunakan tangan," katanya dalam persidangan lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Rabu (5/10). Di hadapan ketua majelis hakim PN Ambon, Herry Setyobudi didampingi S.M.O Siahaan dan Jimmy Wally, ia menyatakan dalam BAP yang disusun polisi dan ditandatangani terdakwa menyebutkan kalau dirinya memang dipukuli seseorang terlebih dahulu dengan sebuah kayu kemudian dia merampasnya dan balik memukuli korban di bagian kepala. Terdakwa mendatangi tempat keributan setelah mendengar ada saniri negeri Suli atau staf pemerintahan desa atas nama Johanis Salampessy dilukai pada bagian dahi oleh salah satu pengunjung piknik yang sedang mengikuti acara di rumah Samuel Kembauw. Febry menjelaskan kalau dirinya dijemput polisi pada tanggal 5 Januari 2016 dan dibawa ke pantai Natsepa untuk ditanyakan seputar peristiwa keributan yang terjadi antara pengunjung dengan warga Desa Suli, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah di rumah Samuel alias Ongen Kembauw. Setelah dijemput sekitar pukul 11.00 WIT, polisi akhirnya membawa terdakwa ke Mapolres Ambon, tetapi tidak ditahan dalam ruang sel dan hanya istirahat di atas kursi hingga keesokan harinya baru di diperiksa penyidik berpakaian preman, namun tidak didampingi kuasa hukum. "Nanti setelah disodorkan BAP untuk membacanya dan ditandatangani baru penyidik mendatangkan kuasa hukum atas nama Thomas Wattimury. Saya juga sudah dalam keadaan tidak konsentrasi dan kecapean sehingga BAP hanya dibaca sepintas," akui terdakwa dalam persidangan. Meski pun ditanyakan majelis hakim berulang kali dan meminta kejujuran terdakwa dan tidak berbelit-belit dalam persidangan, namun dia tetap menyatakan tidak memukuli korban dengan kayu tetapi hanya dengan kepala tangan. "Saya juga tidak mengetahui kalau orang yang memukuli saya dengan kayu di depan teras rumah Samuel Kembauw adalah AKBP Johanis Mairuhu, nantinya belakangan baru ketahuan. Terdakwa juga menuturkan saat terjadi keributan sempat melihat sejumlah orang muncul di lokasi kejadian sambil membawa parang, diantaranya Marvin Haliwela, Dominggus Patirane alias Ocang, Otto Petrik Haliwela alias Ottopet, dan Revano Haliwela. Satu pelaku lain yang membawa parang dari dalam rumah Samuel Kembauw tidak diketahui identitasnya, tetapi orang tersebut bertubuh pendek dan kulitnya hitam. Atas pengakuan terdakwa, majelis hakim meminta saksi verbalism dari Polres Ambon agar bisa menindaklanjuti keterangan tersebut dengan mencari para pelaku yang nama-namanya disebutkan. Sayangnya jaksa penuntut umum Kejari Ambon, Asmin Hamja sampai saat ini juga belum bisa menghadirkan Dedy Febri Haliwela yang diduga kuat menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut, kemudian salah satu anak Bupati Seram Bagian Barat (SBB) bernama Rafler juga ada dalam peristiwa itu tetapi tidak dihadirkan sebagai saksi. Penasihat hukum terdakwa, Chris Latupeirissa mengatakan, hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Bhayangkari Polda Maluku menyatakan kematian AKBP Johanis Mairuhu ini disebabkan adanya luka robek akibat terkena benda tajam dan juga benda tumpul pada bagian kepala. Namun yang dibawa JPU sebagai barang bukti di persidangan hanyalah sebuah kayu rep yang panjangnya sekitar satu meter, sedangkan tidak ada parangnya, padahal sejumlah saksi dalam persidangan, termasuk saksi verbalism dari Polres Ambon juga mengakui ada luka potong di bagian kepala korban. Majelis hakim menunda persidangan hingga tangal 10 Oktober 2016 dengan agenda mendengarkan pembacaan tuntutan JPU Asmin Hamja. (MP-4)
Ambon, Malukupost.com - Febry Suitela, salah satu terdakwa kasus pengeroyokan yang mengakibatkan kematian AKBP Johanis Mairuhu, perwira menengah Polda Maluku pada 3 Januari 2016, membantah Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease.

"Yang benar adalah, awalnya saya dipukuli oleh seseorang dengan sebuah kayu lalu saya membalas memukul orang tersebut dengan menggunakan tangan," katanya dalam persidangan lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Rabu (5/10).

Di hadapan ketua majelis hakim PN Ambon, Herry Setyobudi didampingi S.M.O Siahaan dan Jimmy Wally, ia menyatakan dalam BAP yang disusun polisi dan ditandatangani terdakwa menyebutkan kalau dirinya memang dipukuli seseorang terlebih dahulu dengan sebuah kayu kemudian dia merampasnya dan balik memukuli korban di bagian kepala.

Terdakwa mendatangi tempat keributan setelah mendengar ada saniri negeri Suli atau staf pemerintahan desa atas nama Johanis Salampessy dilukai pada bagian dahi oleh salah satu pengunjung piknik yang sedang mengikuti acara di rumah Samuel Kembauw.

Febry menjelaskan kalau dirinya dijemput polisi pada tanggal 5 Januari 2016 dan dibawa ke pantai Natsepa untuk ditanyakan seputar peristiwa keributan yang terjadi antara pengunjung dengan warga Desa Suli, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon), Kabupaten Maluku Tengah di rumah Samuel alias Ongen Kembauw.

Setelah dijemput sekitar pukul 11.00 WIT, polisi akhirnya membawa terdakwa ke Mapolres Ambon, tetapi tidak ditahan dalam ruang sel dan hanya istirahat di atas kursi hingga keesokan harinya baru di diperiksa penyidik berpakaian preman, namun tidak didampingi kuasa hukum.

"Nanti setelah disodorkan BAP untuk membacanya dan ditandatangani baru penyidik mendatangkan kuasa hukum atas nama Thomas Wattimury. Saya juga sudah dalam keadaan tidak konsentrasi dan kecapean sehingga BAP hanya dibaca sepintas," akui terdakwa dalam persidangan.

Meski pun ditanyakan majelis hakim berulang kali dan meminta kejujuran terdakwa dan tidak berbelit-belit dalam persidangan, namun dia tetap menyatakan tidak memukuli korban dengan kayu tetapi hanya dengan kepala tangan.

"Saya juga tidak mengetahui kalau orang yang memukuli saya dengan kayu di depan teras rumah Samuel Kembauw adalah AKBP Johanis Mairuhu, nantinya belakangan baru ketahuan.

Terdakwa juga menuturkan saat terjadi keributan sempat melihat sejumlah orang muncul di lokasi kejadian sambil membawa parang, diantaranya Marvin Haliwela, Dominggus Patirane alias Ocang, Otto Petrik Haliwela alias Ottopet, dan Revano Haliwela.

Satu pelaku lain yang membawa parang dari dalam rumah Samuel Kembauw tidak diketahui identitasnya, tetapi orang tersebut bertubuh pendek dan kulitnya hitam.

Atas pengakuan terdakwa, majelis hakim meminta saksi verbalism dari Polres Ambon agar bisa menindaklanjuti keterangan tersebut dengan mencari para pelaku yang nama-namanya disebutkan.

Sayangnya jaksa penuntut umum Kejari Ambon, Asmin Hamja sampai saat ini juga belum bisa menghadirkan Dedy Febri Haliwela yang diduga kuat menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut, kemudian salah satu anak Bupati Seram Bagian Barat (SBB) bernama Rafler juga ada dalam peristiwa itu tetapi tidak dihadirkan sebagai saksi.

Penasihat hukum terdakwa, Chris Latupeirissa mengatakan, hasil visum et repertum dari Rumah Sakit Bhayangkari Polda Maluku menyatakan kematian AKBP Johanis Mairuhu ini disebabkan adanya luka robek akibat terkena benda tajam dan juga benda tumpul pada bagian kepala.

Namun yang dibawa JPU sebagai barang bukti di persidangan hanyalah sebuah kayu rep yang panjangnya sekitar satu meter, sedangkan tidak ada parangnya, padahal sejumlah saksi dalam persidangan, termasuk saksi verbalism dari Polres Ambon juga mengakui ada luka potong di bagian kepala korban.

Majelis hakim menunda persidangan hingga tangal 10 Oktober 2016 dengan agenda mendengarkan pembacaan tuntutan JPU Asmin Hamja. (MP-4)

Subscribe to receive free email updates: