Pasalnya, dua tahun pemerintahan Jokowi-JK belum menunjukkan efek yang signifikan di Maluku. Bahkan, berbagai indikator menunjukkan adanya peningkatan angka kemiskinan. Hal ini terungkap dalam diskusi terbatas akademisi dari Universitas Pattimura Ambon, Universitas Darussalam Ambon, UKI Maluku, STAKPN Ambon dan IAIN Ambon yang dilakukan di Ambon, Rabu (26/10) kemarin. Diskusi yang digagas Dipl.Oekonom Engelina Pattiasina dari Archipelago Solidarity Foundation ini juga dihadiri Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. Marthinus J. Saptenno bersama guru besar di Maluku, Prof. MKs Norimarna, PhD; Prof. Dr. Eddy Leuwakabessy MPd; Prof. Dr. John Rery; Prof. Dr. Khalik Latuconsina.
Menurut Engelina, diskusi ini melahirkan setidaknya delapan catatan yang berkembang dalam forum itu yaitu Pertama, meminta pemerintah pusat untuk mengubah kebijakan yang kurang berpihak kepada pengurangan kemiskinan, sehingga mengambil kebijakan yang dapat memperbaiki kesejahteraan di Maluku. Kedua, pemerintah harus sungguh-sungguh untuk memperhatikan isu sumber daya alam yang benar berorientasi kepada perbaikan ekonomi rakyat dan justru tidak berorientasi politik.
“Yang ketiga, kebijakan pemerintah untuk menetapkan pengembangan Blok Masela di darat hendaknya diatur dalam peraturan atau keputusan presiden sehingga memiliki landasan legal formal sebagai acuan dalam mengambil kebijakan serta bisa memberikan jaminan kepastian hukum, ujarnya.
Engelina katakan, yang Keempat, mengingat semua pihak untuk menyadari bahwa biaya pengembangan Blok Masela bukan dikeluarkan investor, tetapi investor hanya sebagai operator untuk menjaminkan sertifikat cadangan Blok Gas Masela untuk mendapatkan biaya pengembangan. Apalagi, semua biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan dalam cost recovery. Untuk itu, hendaknya Maluku tidak diposisikan sebagai pengemis, karena Blok Masela berada di wilayah Maluku, sehingga wajib untuk menikmati sumber daya alam yang ada untuk kesejahteraan Maluku.
“Kelima, Presiden Joko Widodo diminta untuk mengingat dan memenuhi janji yang disampaikan ketika mengunjungi Maluku pada 4 April 2016, dimana Presiden berjanji untuk memprioritaskan dan fokus dalam pengembangan sumber daya manusia untuk pengelolaan sumber daya alam. Maluku sangat menantikan janji ini karena merupakan upaya untuk menyiapkan SDM di Blok Masela dan blok Migas yang lain di Maluku,” ungkapnya.
Diungkapkan Engelina, yang Keenam, semua representasi atau wakil rakyat asal Maluku di Jakarta hendaknya benar-benar mempertanggungjawabkan amanat rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Maluku. Sebab, meskipun Maluku memiliki kekayaan alam yang sangat kaya, tetapi Maluku hidup dalam kemiskinan di atas kekayaan alam itu.
“Dan yang Ketujuh, semua elemen di Maluku tidak akan diam jika langkah untuk menyoroti situasi dan kondisi di Maluku tidak mendapat perhatian, karena semua elemen akan tetap memberikan sorotan yang lebih luas, baik pada tataran lokal maupun nasional yang lebih representatif,” tandasnya.
Dijelaskan Engelina, ketertinggalan yang dialami Maluku saat ini merupakan bentuk nyata dari ketidakadilan, karena itu Maluku membutuhkan suatu dorongan besar untuk keluar dari kemiskinan. Untuk itu, dirinya meminta, semua pihak untuk memastikan rakyat Maluku mendapat perlakuan dan hak yang semestinya dari keberadaan Blok Masela. Karena hal itu akan menjadi pendorong untuk memperbaiki kesejahteraan di Maluku dan kawasan timur.
Sementara itu, Rektor Unpatti M. J. Sapteno katakan pihaknya melihat, politik anggaran yang terjadi tidak berpihak kepada pengembangan wilayah yang tertinggal, karena sebagian terbesar anggaran negara masih ditujukan untuk pengembangan wilayah sesungguhnya sudah jenuh untuk pembangunan.
“Semestinya anggaran negara diarahkan untuk mengembangkan wilayah tertinggal tetapi memiliki potensi ekonomi untuk berkembang. Maluku menjadi provinsi yang termarjinal dan terpuruk dalam kemiskinan, karena adanya ketidakadilan dalam pengembangan wilayah,” tandasnya.
Ditempat yang sama, Dosen Universitas Darussalam, Dayanto mengatakan, selama dua tahun mungkin ada perbaikan yang terjadi di tempat lain, tetapi kalau mau jujur hal itu belum terlihat di Maluku.
“Kalau mau jujur kita harus mengatakan, efek Jokowi belum terlihat di Maluku selama dua tahun ini. Kita harapkan efek itu akan terlihat pada sisa masa jabatan yang masih tiga tahun,” ungkapnya.
Dayanto menambahkan, ketiadaan efek itu, terlihat dari data yang menunjukkan 80 persen wilayah di Maluku berada dalam kategori tertinggal dan itu juga tampak dari angka pengangguran yang cukup tinggi karena berada di urutan kelima. Begitu juga dengan angka kemiskinan yang belum menunjukkan pengurangan.
Untuk itu, saya berharap, pemerintah menerapkan politik afirmasi bagi Maluku untuk mengejar ketertinggalan. Jika tidak, sangat sulit bagi Maluku untuk mengejar ketertinggalan yang ada,"ujarnya. (MP-4)