BONEPOS.COM - Masalah pangan memang masih menjadi topik perhatian utama bagi bangsa Indonesia. Jika dipandang dari sumberdaya alam dan teknologi yang tersedia untuk menghasilkan pangan, maka mestinya masalah pangan bukan lagi masalah utama pada era saat ini.
Namun realitanya, keberadaan teknologi dan sumberdaya alam ternyata tidaklah memberikan jaminan bahwa ketahanan pangan dapat diciptakan dengan sempurna. Permasalahan sosial yang paling mendesak di negara-negara yang tergolong dalam kategori negara berkembang dan negara terbelakang adalah masalah pertumbuhan penduduk.
Negara-negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan permasalahan kependudukan yang cukup rumit. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan populasi yang begitu pesat dan menjadikan Indonesia sebagai negara ke empat yang memiliki jumlah penduduk terbesar setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, perkiraan jumlah penduduk Indonesia ditahun 2017 terus bertambah. Jumlah penduduk pada tahun 2018 diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 265 juta jiwa. Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pada bertambahnya konsumsi pangan.
Sehingga kurangnya ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat dalam suatu negara akan mengakibatkan menurunnya kesejahteraan hidup, bencana kelaparan bahkan ketidakstabilan ekonomi. Dalam menatap masa depan, kita juga masih khawatir apakah negara bisa menjamin rakyatnya mendapatkan konsumsi pangan secara layak? Akankah lonjakan penduduk menimbulkan krisis pangan?
Dalam pasal 27 UUD 1945 ditegaskan bahwa hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia. Ketidakmampuan pemerintah dalam hal penyediaan pangan akan menimbulkan implikasi permasalahan sosial ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di Negara Veneuzela, saat ini negara tersebut menderita kekurangan pangan dan kelaparan yang mewabah yang diakibatkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam hal penyediaan pangan yang aman, terjangkau dan bergizi bagi masyarakatnya.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintahnya lebih cenderung ke produk-produk non pangan, sehingga menyebabkan masyarakat yang pendapatannya menengah kebawah tidak mampu mengakses pangan dan untuk memenuhi kebutuhan akan pangannya mereka mengkonsumsi makanan dari sisa-sisa makanan yang sudah terbuang.
Maka, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya, tentu kita tidak ingin hal seperti itu terjadi pada Indonesia, untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang mengacu kepada pemenuhan pangan masyarakat yang dapat dijangkau, aman dan bergizi. Sebenarnya, bukan suatu masalah besar negara dengan pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat jika mampu dibarengi dengan kualitas SDM yang baik.
Walaupun negara Indonesia kaya akan sumber daya alam, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan pemerintah masih melakukan kebijakan impor pangan. Kekurangan sumber daya manusia adalah tantangan tersendiri sebab kebanyakan SDM kita tidak memiliki keahlian khusus di bidang pertanian dalam mengelola SDA.
Penduduk Indonesia hingga saat ini masih menggantungkan konsumsi pangannya pada beras. Sehingga hal tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan diversifikasi pangan. Melalui program ini diharapkan masyarakat kedepannya tidak lagi menggantungkan pangannya hanya pada beras.
Kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, namun juga dimaksudkan untuk mengubah pola konsumsi masyarakat agar mengkonsumsi bahan pangan yang beranekaragam dan lebih baik gizinya.
Seperti yang terjadi sebelum diterapkannya program swasembada beras pada tahun 1984, masyarakat pada saat itu belum menggantungkan konsumsi pangannya pada beras akan tetapi beberapa daerah memiliki konsumsi pangan lokal tersendiri, misalnya saja di daerah Papua mereka mengkonsumsi sagu.
Hal inilah yang membuktikan bahwa masyarakat sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan pangannya tanpa harus bergantung pada beras. Walaupun tidaklah mudah untuk mengubah ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Namun, hal ini bisa saja kita tekan seperti kata pepatah “ala bisa karena biasa”, ketika masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi bahan pangan selain beras maka tidak menutup kemungkinan pola konsumsi masyarakat bisa beralih dari beras ke non beras. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya yang membuat kita ketergantungan terhadap beras disebabkan oleh adanya faktor kebiasaan.
Selain program terkait diversifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian yang beranekaragam, perlu kiranya perhatian khusus juga terhadap masalah kehilangan gagal panen. Kehilangan hasil pada proses pascapanen menjadi persoalan serius yang perlu mendapat perhatian khusus.
Namun realitanya, persoalan ini kalah saing dengan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Jika kita biarkan 15% hasil panen hilang akibat penanganan pascapanen yang kurang baik dalam artian hasil panen rusak ataupun busuk, dan tercecer disaat panen dan pengangkutan, maka 15% biaya produksi, waktu dan tenaga yang dicurahkan selama satu musim tanam juga terbuang percuma.
Memang hampir mustahil bisa meniadakan sama sekali porsi kehilangan hasil ini, namun bagaimana cara kita untuk bisa menekan tingkat kehilangan hasil tersebut sehingga mengurangi hasil panen yang terbuang percuma.
Tingkat kehilangan hasil yang semakin tinggi akan berdampak pada penurunan produktivitas, sehingga diharapkan perlu adanya inovasi dan teknologi yang dapat mengatasi hal tersebut. Sebenarnya cukup kompleks permasalahan-permasalahan yang muncul dinegara kita ini khususnya dibidang pertanian.
Kita kaya akan sumberdaya alam apalagi sumberdaya manusianya namun mengapa kita masih mengimpor, dan masih mempekerjakan tenaga kerja asing. Masalah terbesarnya adalah kurangnya kualitas SDM dalam mengelola ide-ide yang kreatif untuk dijadikan inovasi-inovasi baru.
Solusi Belakangan ini Kementerian Pertanian telah menggalakan program untuk mempertahankan pangan negara melalui upaya khusus dengan 3 komoditas utama yaitu padi, jagung, dan kedelai demi mencapai swasembada pangan yang dicanangkan pada tahun 2015 hingga saat ini.
Sehingga diharapkan dengan melalui program upsus ini, kebutuhan akan pangan masyarakat dapat terpenuhi secara lebih merata dengan kuantitas SDM yang memadai serta dapat menstabilkan harga baik ditingkat produsen maupun konsumen. Dan terbukti saat ini, harga cabai dipasaran mulai stabil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dimana terjadi lonjakan harga cabai yang cukup drastis jika menjelang bulan ramadhan.
Selain itu perlu kiranya data pemetaan disetiap daerah dengan produk unggulannya sehingga harga dapat relatif lebih stabil serta perlu mengatur rantai pemasaran untuk melindungi petani dari permainan harga dipasaran.
Berbicara mengenai pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat yang dapat berpengaruh pada perekonomian negara, baik dari segi konsumsi maupun produktivitas, maka ledakan penduduk sebenarnya mampu ditekan melalui program yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu program Keluarga Berencana (KB).
Namun hal itu masih saja belum secara maksimal terealisasi, dibuktikan dengan data sensus pertumbuhan penduduk yang kian bertambah setiap tahunnya, sehingga perlu dibarengi dengan pendampingan terhadap masyarakat dalam rangka perbaikan kualitas SDM agar kiranya mampu menghasilkan masyarakat yang lebih kreatif dalam mengimplementasikan penemuan-penemuan baru seperti pengajaran kepada siswa sejak dini mengenai kreatifitas dalam berfikir.
Oleh : Andi Anna Maemunah
Magister Sains Agribisnis Fakultas Ekonomi Dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
EDITOR : JUMARDI
COPYRIGHT © BONEPOS 2017
COPYRIGHT © BONEPOS 2017